Quo Vadis Status Hijau Hutan Sawit?

Hutan

Berdiskusi mengenai Go Green di era industrial economy beberapa tahun terakhir ini, memang menjadi tren. Bagaimana tidak? Negara kita merupakan penyumbang gas rumah kaca nomor tiga di dunia. Tak pelak kegiatan CSR (corporate social responsibilty) perusahaan-perusahaan swasta nasional maupun asing mulai gencar, dan beberapa pemerintah daerah pun tak ketinggalan dalam upaya peningkatan kualitas lingkungan di ‘zamrud khatulistiwa’ (baca: Indonesia).

Era industri saat ini pun mulai diprioritaskan di bidang agraria (sektor pertanian), sebagaimana penyampaian Presiden SBY tentang pencanangan tiga strategi bidang ekonomi (tripple track strategy), yaitu: mencapai pertumbuhan ekonomi 6,5 persen per tahun, menggerakkan kembali sektor riil, serta revitalisasi pertanian dan perekonomian pedesaan. Namun tak dapat dipungkiri juga, bahwa hingga kini porsi sektor pertanian nasional terhadap PDB memang lebih rendah daripada sektor industri manufaktur.

Sejak tahun 1993 sumbangan sektor pertanian tidak pernah melebihi sektor industri manufaktur. Pada saat krisis ekonomi tahun 1998, sektor pertanian hanya berperan 17,4% terhadap PDB; sementara ekspansi pada hampir semua komoditi industri menyebabkan industri manufaktur menyumbang 23,9% terhadap PDB. Singkatnya, sektor industri manufaktur muncul menjadi penyumbang nilai tambah yang dominan dan telah tumbuh pesat melampaui laju pertumbuhan sektor pertanian. Pada triwulan II 2008, sektor pertanian hanya menyumbang 14,67% terhadap PDB, sementara sektor industri pengolahan menyumbang 27,29% terhadap PDB (Kuncoro, 2009).

Status Hijau Sawit

Perkebunan sawit merupakan bagian dari sektor pertanian dalam komponen PDB (Pendapatan Domestik Bruto). Penggalakan inovasi teknologi tepat guna dan penciptaan industrialisasi khususnya di sektor perkebunan sawit pun akhirnya memang menggiurkan bagi percepatan pertumbuhan produksi sektor perkebunan sawit sekaligus para investornya. Adanya permintaan pasar dengan margin yang besar pun makin menggeliatkan sektor perkebunan sawit.

Untuk pasar global, Indonesia dan Malaysia menguasai 85 persen perkebunan sawit dunia. Indonesia sendiri memiliki 6 juta hektar perkebunan sawit yang tersebar di sejumlah pulau-pulau besar yakni Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Dengan kebutuhan yang begitu besar, lahan sawit terus diperluas ke pulau-pulau lainnya di Indonesia. Pulau Seram dan Buru di Maluku juga dilirik jaringan konglemarasi ini untuk menancapkan kuku investasinya (Ippmassi Online Community, 2008)

Menurut SawitWatch, luas kebun sawit di Indonesia saja sudah mencapai 7,4 juta hektar untuk tahun 2008 saja. Data lain menyebutkan luas kebun sawit pada tahun 1985 seluas 600ribu hektare, yang kemudian meloncat ke 6.425.061 hektare di tahun 2005 dan diperkirakan akan mencapai 7.125.331 juta hektare di tahun 2009 ini (Mumu Muhajir, Blog: Kataloghukum, 2009)

Penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat sekitar setiap pembukaan lahan baru sekali lagi memang menguntungkan, namun tidak setimpal jika berdampak buruk pada kualitas lingkungan dan budaya/kearifan lokal setempat.

Provinsi Maluku diwarisi sistem budaya sasi, yakni pelarangan mengambil hasil hutan atau hasil laut sebelum waktunya. Budaya peninggalan para leluhur ini berlangsung sejak ratusan tahun lamanya. Budaya sasi di hutan bisa dijalankan jika tanaman di hutan itu beraneka ragam. Saat hutan di sulap menjadi perkebunan sawit maka secara otomatis yang tumbuh hanya satu jenis tanaman saja yakni kelapa sawit. Tentu saja, kondisi ini akan mengakibatkan perubahan hidup masyarakat dan budaya sasi kedepan terancam hilang. (Ippmassi Online Community, 2008)

Medanbisnisonline.com (22/1/09), juga memberitakan bahwa:

  1. Departemen Kehutanan (Dephut) menyatakan, 30 perusahaan perkebunan kelapa sawit di Sumatera, termasuk Riau dan Sumatera Utara, telah melanggar kawasan konservasi dan hutan lindung.

  2. Kawasan konservasi dan hutan lindung di Sumatera yang dijadikan lahan perkebunan kelapa sawit tanpa izin dapat mencapai ratusan ribu hektar.

  3. Ada tujuh kawasan konservasi yang terancam perambahan yakni Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Tamah Hutan Raya (Tahura) Sultan Syarif Hasyim, Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT), hutan lindung Bukit Suligi, hutan lindung Mahato, hutan lindung Rimbang Baling, dan taman suaka margasatwa Senepis.

Berita diatas baru sebatas regional Sumatera, bayangkan betapa besarnya bahaya emisi CO2 akibat konversi hutan menjadi sawit dengan cara pembakaran dan pembabatan pohon-pohon raksasa, dengan nilai konversi akumulasi per 2008 sebesar 7,4 juta hektar. Akibatnya tentu pemanasan global.

Evi dan Chandra (2008), menjelaskan dampak dari pemanasan global, sebagai berikut:

  1. Melelehnya glacier atau bukit es di kutub. Hal ini menyebabkan resiko bangjir selama musim hujan dan mengurangi persediaan air pada musim kemarau bagi 1/6 penduduk dunia, utamanya di India, sebagian Cina dan Andes di Amerika Selatan.

  2. Berkurangnya lahan tanaman, terutama di Afrika yang bisa jadi akan menyebabkan ratusan juta orang tidak mampu memproduksi atau membeli makanan dengan cukup.

  3. Kerusakan pada laut, merupakan effect langsung pada peningkatan karbondioksida dan akan menghasilkan efek pada ekosistem dan akibatnya akan mengurangi stok hasil laut, utamanya ikan.

  4. Naiknya volume air laut, jika pemanasan global mencapai 3-4 oC makan tiap tahun manusia akan mengalami banjir.

  5. Peningkatan angka kematian akibat mal nutrisi dan hawa panas

  6. Pada pertengahan abad ini, 200 juta orang lebih akan mengalami ’permanently displaced’ akibat jangka panjang dari kenaikan volume air laut, yaitu banjir, kekeringan atau tanah longsor.

  7. Ekosistem akan terpengaruh, utamanya sekitar 15-40% spesies akan punah dengan pemanasan 2o 0C.

Akhirnya, saya berharap besar pada pemerintah dan pengusaha, serta semua stakeholders untuk memperhatikan hal ini, untuk keperluan generasi bangsa di masa depan, dan keamanan lingkungan bagi negara-negara lain yang berharap akan hutan-hutan bangsa yang dikenal sebagai paru-paru dunia.